wimeindonesia.id – Sejak tahun 1990-an, dunia maya sudah diramaikan oleh penggunaan internet, termasuk di kalangan anak muda. Pemakaian internet mengembangkan sikap imajinatif dan terbuka.
Sebagian orang mudah menggunakan identitas yang mereka inginkan di internet tanpa memperhatikan hak-hak wanita. Hal tersebut memicu tumbuhnya istilah cyberfeminism yang memadukan energi feminis dan pejuang aktivis feminin.
Feminisme siber salah satunya menggambarkan keterlibatan perempuan di internet, menganalisis isu-isu sosial terkait isu-isu seperti orang yang dapat mengakses ke teknologi digital, dan masalah kemunculan media online menciptakan ketidaksetaraan gender.
Di balik problematika di atas, media sosial memiliki peranan penting bagi kegiatan advokasi gender Pertama, dunia siber, termasuk di dalamnya media sosial, dianggap lebih inklusif dibandingkan dunia offline. Siapapun yang memiliki akses internet dapat ikut berkontribusi dalam membangun diskursus feminisme dan memperjuangkan isu gender. Kedua, ruang siber memberi kesempatan bagi kepada aktivis feminis untuk membicarakan isu-isu seputar gender yang masih dianggap “tabu” untuk dibicarakan di ranah offline. Para aktivis juga dapat memberikan narasi alternatif terhadap narasi gender yang timpang.
Cyberfeminism itu mengklaim bahwa hak digital adalah hak asasi manusia. Tujuan cyberfeminism yang memperjuangkan hak digital bagi perempuan, karena banyaknya korban wanita tidak bebas dari sorotan gambar.
Menurut Halimah Sadiyah pada sesi Ruang Leluasa (Relung) Wime Indonesia, tren perempuan jaman sekarang memanfaatkan dunia maya untuk aktivis dapat dilihat sebagai hasil dari semakin banyaknya kelompok yang didominasi perempuan, walaupun belum tentu berorientasi pada feminis di ranah digital.
Petik kasus kekerasan daring terhadap perempuan yang setiap hari selalu ada di tangan netizen Indonesia melalui jaringan sosial. Jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terbanyak kedua yang dilaporkan, dengan 307 kasus, setelah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sebanyak 418 kasus (CNN, 2021).
Bentuk KBGO yang sering dialami oleh perempuan antara lain ancaman pelecehan dan pemerkosaan di gawai, pelecehan (yang dapat diikuti dengan pelecehan offline), pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan dan perekaman tanpa izin.
Transisi komunikasi luring (luar jaringan) ke komunikasi during (dalam jaring) misalnya, bahasa percakapan terdapat chat bahasa kasar dan sikap seronoh terhadap perempuan, makin menyudutkan korban terlibat, namun tidak menjadikan pelaku kapok dan terus berulang kali dalam menyebarkan tanpa kata ampun.
Maraknya berita kekerasan terhadap perempuan menjadi ragam konten sensasional disebarkan dengan dukungan fitur sharing di media sosial. Dibalik sorotan berita kbgo di media online, menaikkan rating berita itu menjadi pencarian kata kunci di google. Bahkan, tujuan lain untuk mendapatkan penghasilan banyak disukai oleh netizen Indonesia di postingan berita tersebut daripada media konvensional.
Di sisi lain, berita tentang KBGO yang dibagikan di media sosial dapat memberikan pengaruh buruk bagi korban, baik secara fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan fungsional (ICRW, 2015). Seharusnya dalam pemberitaan media sosial dan media online tetap beretika komunikasi dan memberikan contoh baik bagi pendidikan karakter masyarakat. Solusinya, perlu mengedukasi online kepada netizen Indonesia agar sadar atas hak wanita perlu dilindungi untuk online dan dapat mengurangi kasus-kasus KBGO, sebab jika tidak ada penyuluhan online bisa jadi indikator hal kecil berdampak merusak karakter generasi masa depan.
Dunia digital dipandang tidak berbahaya di mata masyarakat. Setiap aplikasi sosial media dan ragam berita online dapat dipasang peraturan kebijakan publik untuk mendapatkan edukasi online. Langkah itu akan berguna untuk menghentikan jari-jari sharing kbgo dari pengulangan kekerasan daring
Penulis: Dina Amalia Fahima
Editor: Safura Herlusia dan Mayang Sari